Perkembangan konflik sosial, mempunyai tahapannya sendiri, mulai dari perbedaan, ketidaksepakatan, persoalan, perselisihan, pertikaian, kekerasan, dan perang. Mulai dari tidak menggunakan kekerasan sampai menggunakan kekerasan. Konflik sosial juga dapat berawal dari masalah yang sederhana dan sifatnya pribadi kemudian berkembang ke masalah yang lebih kompleks dan melibatkan komunitas tertentu (komunal).
Dalam kajian teori Spiral dari Marx Simmel (Turner, 1991) dijelaskan bahwa konflik dapat dianalogkan dengan spiral. Apabila spiral ditekan dari atas, maka akan memantul ke atas, semakin keras ditekan akan semakin keras pula pantulannya, karena itu penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan kekerasan dan sekaligus, namun harus diselesaikan secara bertahap dimulai dari akar permasalahannya.

Berdasarkan teori spiral di atas, perkembangan konflik dapat dijelaskan sebagai berikut :
Konflik yang terjadi berawal dari adanya perbedaan seperti: perbedaan kepentingan, ide, gagasan dan kebutuhan.
Konflik harus diselesaikan dari awal, sejak adanya perbedaan karena apabila konflik itu dibiarkan maka akan dapat menimbulkan apriori dari kedua belah pihak.
Apriori yang berkelanjutan baik secara langsung maupun tidak langsung juga yang dapat berpengaruh kepada putusnya hubungan/komunikasi.
Disharmonisasi adalah putusnya hubungan kedua belah pihak dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan kedua belah pihak (satu sama lain).
Sikap yang apatis antara kedua belah pihak yang cenderung mengakibatkan masing-masing pihak berusaha mempengaruhi lingkungannya agar berpihak kepada kepentingan masing-masing, yang pada akhirnya bertujuan untuk membentuk komunitas sebagai kekuatan baru dari masing-masing pihak.
Kecenderungan komunitas yang telah mempunyai kekuatan dalam ikatan kelompok yang sepaham dan seide yang cenderung menunjukan kekuatan dan eksistensinya baik kepada komunitas lain maupun komunitas lawan konflik.
Sikap kepercayaan yang berlebihan, akan ditunjukan dalam bentuk warning (peringatan) bahkan ultimatum kepada komunitas lawan konflik antara lain dengan ancaman, tekanan dan teror.
Kondisi tersebut merupakan potensi konflik yang antara komunitas baik etnis agama, ras dan golongan yang apabila ada faktor pemicu baik dari dalam maupun dari luar dapat menimbulkan yang lebih besar (tragedi) yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian di kedua belah pihak (jiwa, harta, infrastruktur masyarakat) dan lain-lain.
Tahapan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Perkembangan atau eskalasi terjadinya suatu konflik juga dapat dikelompokkan menjadi empat tahapan, meliputi :
Tahap Diskusi
Pada tahap ini masing-masing pihak yang terlibat konflik saling berbeda pendapat namun masih bisa untuk bekerja sama. Komunikasi diantara yang bertikai masih bisa dilakukan secara langsung sehingga perdebatan dan diskusi bisa dilakukan dimana persepsi terhadap lawan cukup akurat.
Tahap Polarisasi
Dimana kedua belah pihak mulai ambil jarak, karena komunikasi tidak bisa langsung dan tergantung kepada interpretasi atau misinterpretasi, persepsi terhadap lawan menjadi kaku sedang isu yang dimunculkan tidak lagi obyektif sehingga memunculkan kecemasan psikologis.
Tahap Segregasi
Tahap dimana kedua belah pihak yang sedang bertikai semakin menjauh, sehingga komunikasi menjadi terbatas pada ancaman dan persepsi yang ada menjadi kita yang baik dan mereka yang jahat, isu yang ditekankan adalah kepentingan nilai utama setiap kelompok/komunitas.
Tahap Destruktif
Tahap permusuhan sepenuhnya, sehingga komunikasi yang terjadi hanya berupa kekerasan langsung atau sama sekali tidak ada hubungan. Isu-isu yang ditonjolkan hanya keselamatan kelompok terhadap agresi kelompok lain. Kemungkinan hasil yang diharapkan adalah sama-sama kalah (lose-lose game) dan usaha yang dipilih hanya untuk menghancurkan kelompok lawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar