Senin, 21 Februari 2011

Awas Bahaya Brainwashing

Ancaman Brainwash

Situs Wikipedia menjelaskan brainwash itu adalah serangkaian proses yang sistematik yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dengan metode yang barangkali tidak etis atau manipulatif, untuk merayu pihak lain supaya berjuang mengegolkan keinginan tertentu walaupun harus dengan cara yang menghancurkan pihak yang di-brainwash itu. Dalam proses brainwash, aktivitas yang terjadi antara lain: mengontrol pikiran, mencuci otak, mengkonstruksi ulang pemahaman seseorang, merayu seseorang dengan agak memaksa, menginstall pikiran seseorang dengan ideologi, fakta atau data, dan penjelasan yang sangat intens. 
 
Meski awalnya teknik ini dipakai di dunia militer atau politik dalam mempertahankan regime, tapi pada perjalanannya, wilayah aplikasinya meluas. Banyak temuan yang berhasil mengungkap bahwa di balik aksi kekerasan yang selama ini mengancam kita, misalnya aksi bom bunuh diri dan lain-lain, terdapat keberhasilan proses brainwash yang dilakukan seseorang kepada pihak lain.
 
Keberhasilan brainwash memang sifatnya tidak instant. Ada upaya sistematik dalam memformulasi cerita atau pemahaman baru dari sebuah kenyataan yang disuguhkan kepada orang dengan ciri-ciri internal (profil psikologis) tertentu sehinga sangat match antara  pemicu eksternal dan penentu internal. Dilihat dari karakteristik eksternal yang umum, negara kita termasuk tempat yang tidak sulit-sulit amat untuk melakukan aksi brainwash kepada pemuda untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang banyak. Dari mulai bom bunuh diri, kerusuhan massal, sampai demo anarkis memprotes hasil Pilkada.
 
Karakteristik eksternal itu misalnya wajah ketidakadilan sosial, penindasan, kesenjangan ekonomi, taraf pendidikan rata-rata penduduk, rendahnya kepercayaan pada pemerintah, wilayah gerak yang sangat luas, perbedaan agama, suku, ras, dan lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan semakin sungkannya pemerintah kita dengan isu HAM dan demokrasi.
 
Ini semua perlu dijadikan catatan bagi pemuda, orangtua, dan pemerintah. Pemuda perlu mewaspadai berbagai perangkap brainwash. Orangtua juga perlu memonitor kiprah anaknya di luar. Demikian juga pemeritah yang perlu terus   mengurangi alasan-alasan kenapa bangsa gue mudah di-brainwash untuk menyerang tanah airnya sendiri.
 
Mengenali Tabiat Brainwasher
Selain pertanda di muka, aktivitas brainwash juga bisa dikenali dari tabiat dan gelagat orang-orangnya. Yang pertama-tama dilakukan para brainwasher adalah membuldoser  konstruksi jatidiri, pemahaman, dan hubungan sosial korbannya, seperti rumah tua yang dirobohkan untuk rencana pembangunan gedung baru.
 
Tentu ada banyak cara bagaimana proses pembuldoseran itu dilaksanakan. Misalnya antara lain dengan mengeksploitasi berbagai kelemahan, kesalahan, kebodohan, dan ketidakberdayaan korban atau hal-hal negatif lainnya. Misalnya saya ingin mem-brainwash orang dari alasan agama, maka yang akan saya lakukan adalah membuktikan betapa banyaknya dosa orang itu, betapa sesatnya dia, dan seterusnya. Dengan asumsi bahwa orang itu sudah sering nangis-nangis depan saya, meminta hidayah dari saya, atau pendeknya sudah powerlessfull, maka saya mulai melakukan penawaran, seperti ahli bangunan yang menawarkan rancangan konstruksinya ke calon klien.
 
Sebagai brainwasher, tentu saya tidak serta merta akan menyetujui apa maunya klien. Saya akan minta syarat. Syarat yang umum biasanya antara lain: taat secara penuh, always Yes, mau mengisolasikan diri agar hubungannya dengan orang lain terputus dan mulai mengontrol hidup orang itu. Misalnya saya membuatkan rencana, agenda, dan membekalinya dengan logika yang sesuai dengan kepentingan saya.
 
Untuk memastikan pembuldoseran itu sukses, saya perlu menciptakan kondisi hubungan yang manipulatif. Misalnya, kalau dia mempertanyakan sesuatu, segera akan saya katakan dia keras kepala. Tapi kalau diam saja, akan saya katakan tidak kreatif. Jika dia curhat, akan saya katakan cengeng. Tapi kalau tidak mau curhat, akan saya katakan menyimpan kemunafikan. Dan seterusnya dan seterusnya.
 
Setelah pembuldoseran dan rekonstruksi dipastikan sukses, barulah saya mulai menggunakan jurus terakhir, dengan memujinya sebagai orang kuat, hebat, dan sudah layak untuk berbuat sesuatu. Tentu saya sudah menyiapkan agenda mengenai apa yang pas dilakukan orang itu sebagai simbol kekuatan, kemuliaan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.
 
Jika jurus terakhir ini meragukan saya, cara lain yang akan saya lakukan adalah memperpanjang masa kebingungan, frustasi, dan ketidakberdayaan korban hingga dia siap untuk marah terhadap keadaan. Ketika amarah sudah memuncak, tentu saya akan lebih mudah mengarahkan dia melakukan sesuatu demi kepentingan saya. 
 
Meski dalam tulisan ini bisa dijelaskan secara simpel bagaimana proses brainwash itu berlangsung, tetapi dalam prakteknya tidak semua orang bisa melakukannya dengan sukses. Ada orang-orang tertentu yang sepertinya secara talenta dibekali skill yang bagus untuk mem-brainwash orang lain.
 
Terlepas alasan yang dipakai itu agama, sosial, atau apapun, tapi umumnya orang itu punya approach yang lembut,  tahu siapa yang bisa, dan tahu apa yang perlu disembunyikan dan apa yang perlu dinyatakan. Selain itu, dia juga “pede” (percaya diri) untuk memimpinorang lain.
 
Siapa yang Paling Mudah Di-brainwash
Siapakah yang paling mudah / berpotensi kena untuk di-brainwash? Dalam prakteknya, tentu tidak mudah untuk dijabarkan secara akurat dan definitif. Penjelasan di bawah ini hanya bisa dipakai petunjuk untuk mengantisipasi agar kita tidak mudah dijadikan incaran praktek brainwash untuk melakukan aksi brutal.
 
Jika mengacu ke istilah dalam psikologi, yang berpotensi kena di-brainwash adalah orang yang disebutnya dengan istilah mengalami mental illness, yang  terjemahan kasarnya adalah penderita penyakit mental. Istilah ini memang agak sulit ditemukan definisinya yang pas dan bisa diterima di semua standar sosial dengan kriteria yang utuh. Secara umum, kita bisa menyebutnya abnormal.
 
Yang termasuk mudah terkena lagi adalah orang dengan kepribadian bermasalah (personality disorder). Bentuknya antara lain:
1.   Kemampuannya sangat rendah untuk mengatasi masalah secara baik, masa bodoh dengan akibat perilakunya, atau suka melakukan kenekatan yang gila
2.   Mudah meledak pada tingkatan yang sangat membahayakan (explosive)
3.   Diam-diam tapi menyimpan gejolak yang membayakan (passive-aggressive)
4.   Kaku, menyimpan dendam, dan sempit, dengan tuntutan yang kuat agar orang lain dan dunia ini harus berjalan sesuai ego-nya
5.   Punya masalah hubungan sosial, isolasi diri, sulit menerima perbedaan, atau toleransinya rendah
6.   Lainnya lagi adalah orang dengan tingkat protes atau sikap pemberontakan yang tinggi namun dalam taraf yang tidak sehat (patologis), ketahanan mentalnya rendah, mudah putus asa yang membuat dia sering berpikir “mati saja”.
 
Bila semua karakteristik di atas mendapatkan jodoh dari faktor eksternal yang sangat memicu, apinya gampang tersulut. Misalnya, merasa pernah diperlakukan tidak adil, hidupnya semakin susah, nothing to lose, jarang bertemu dengan orang / kelompok yang mencerahkan jiwanya atau mengembangkan kapasitasnya.
 
Akan lebih sempurna ledakannya apabila didukung dengan pendidikan yang rendah, status sosial yang termarjinalkan, dan makin banyaknya khutbah atau ceramah yang mengajak massa untuk marah kepada kenyataan tanpa diiringi dengan saran-saran yang bijak untuk menyikapi kenyataan secara kuat dengan logika yang didukung otak.
 
Supaya Tidak Mudah Terkena Brainwash
Apa ada orang yang kebal terhadap brainwash orang lain? Di teorinya, kita bisa menjawabnya secara hitam-putih. Tapi, dalam prakteknya, ini tidak jelas. Artinya, semua orang dapat berpotensi kena brainwash, terlepas ada yang mudah atau ada yang sulit.
 
Supaya kita tidak mudah terkena brainwash orang lain yang mengajak kita melakukan aksi pengrusakan yang nekat, latihan yang perlu kita lakukan antara lain:
Pertama, sebelum perasaan atau reaksi, berpedomanlah pada nilai-nilai personal, sosial atau universal yang sudah ditanam sejak kecil. Kita perlu berlatih untuk menjadikan ajaran, prinsip, atau nilai-nilai sebagai penggerak tindakan. Jangan melulu menuruti perasaan reaktif, pemahaman benar sendiri, atau kepentingan pribadi atau kelompok, meski ini terkadang tetap harus kita lakukan sebagai bukti bahwa kita bukan robot.
 
Kedua, berlatih menjadi orang yang toleran dan fleksibel. Tak berarti kalau kita keras dan anti toleransi itu kuat. Seringkali malah mudah patah ketika dihadapkan pada problem atau kenyataan. Kalau tidak patah, kita bisa membabi buta. Misalnya kita keras terhadap pemahaman keagamaan tertentu. Jika kerasnya itu melebihi batas, mungkin kita malah akan melanggar nilai-nilai agama. Supaya kita bisa toleran dan fleksibel, latihannya adalah memperluas dan mem-variatifkan pergaulan agar gesekan terjadi.
 
Ketiga, terbuka, tidak pernah fanatik terhadap pemikiran, konsep, sistem, atau paradigma berpikir yang lahir dari proses kreatif manusia. Kita hanya perlu fanatik pada nilai etika universal, semacam kejujuran, tanggungjawab, dan semisalnya, yang jumlahnya sedikit. Hasil proses kreatif manusia itu perlu kita gunakan sebagai referensi atau alat yang kita pilih untuk menghadapi keadaan tertentu yang bisa berubah kapan saja.
 
Banyak aksi kekerasan yang berlatar belakang paham agama karena pelakunya gagal membedakan mana yang wahyu dan mana yang hasil “proses kreatif” pemimpin agamanya. Fanatik terhadap konsep manajemen profesor anu, malah membuat kita tidak bernilai manajemen. Fanatik terhadap sistem demokrasi malah membuat kita tidak bernilai demokrasi. Fanatisme yang salah membuat kita sengsara sendiri.
 
Keempat, memperkuat logika hidup, dalam arti gunakan otak secara kritis dan analitis. Ini hanya bisa dilatih ketika kita semakin tersambung hubungan kita dengan diri sendiri, misalnya kita tahu apa tujuan kita, jalur hidup kita, nilai-nilai kita, orang yang pas untuk kita, apa yang kita perjuangkan, masalah kita, dan seterusnya.  Jika kita blank terhadap diri sendiri, logika hidup kita gampang jebol atau gampang larut.
 
Kelima, berani mengatakan “TIDAK” pada ajakan, himbauan, saran, nasehat, pendekatan yang oleh akal sehat kita aneh, yang ciri-cirinya sudah kita singgung di muka.
 
Ciri Brainwash Yang Baik
Meski di berbagai literatur sudah dikatakan dengan jelas bahwa brainwash itu menggunakan teknik yang kurang etis dan manipulatif, tetapi mungkin dalam prakteknya ada yang bisa kita sebut brainwash, namun tetap etis dan tidak manipulatif.  Sebut saja ini bahasa sosial yang keliru. Ciri fundamental yang dapat kita pedomani antara lain:
  • ·   Jika itu mengedukasi kita. Edukasi berarti membuat kita menjadi diri sendiri dalam bentuk dan kualitas yang lebih bagus, bukan menghancurkan diri kita atau menjadikan kita sebagai korban ego-nya.
  • ·   Jika itu menolang kita, dengan motif yang memang untuk menolong, misalnya membantu kita dari jeratan narkoba. Bila orang itu memanipulasi motifnya, manfaatkan saja pertolongannya atau Anda menolak pertolongannya
  • ·   Jika itu mengembangkan kapasitas positif kita, misalnya ilmu, network, pengalaman, wawasan, pemahaman, dan seterusnya. Banyak ceramah agama, orasi sosial, atau kampanye politik yang hanya mengajak kita marah terhadap kenyataan, namun dianya sendiri tidak sedikit pun mau berkorban mengembangkan kapasitas positif kita. Kalau kita mengikutinya, kita sendiri yang salah. Anggap saja itu jualan atau bualan.
  • ·   Jika itu mengajak kita mentaati perintah Tuhan, prinsip, atau nilai-nilai yang kebenarannya diterima akal sehat seluruh dunia, bukan mengajak kita mengikuti ego, nafsu, ambisi pribadinya.   
 
 Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar