Pasti tidak semua orang memang, tetapi bisa dipastikan ada sebagian dari kita yang menikmati tradisi ngerumpi di tempat kerja. Secara umum, materi ngerumpi itu bisa dikategorikan menjadi tiga. Pertama, menjadikan orang sebagai bahasan utama kita. Kedua, menjadikan peristiwa sebagai bahasan utama kita. Ketiga, menjadikan gagasan, ide, rencana dan semacamnya sebagai bahasan utama kita.
Pasti juga tidak semua ngerumpi itu jelek, tetapi dipastikan ada bagian dari tradisi ngerumpi itu yang menjadikan kejelekan orang lain (atasan, bawahan, sesama) sebagai materi pembahasan utama. Membahas kejelekan orang lain ini juga bukan sebuah bahasan yang mudah berakhir dengan titik, melainkan menjadi bahasan yang ber-ujung koma. Artinya, setelah pendapat itu dikeluarkan, pasti akan ada pendapat lanjutan yang mendukung atau menentang pendapat terakhir itu.
Perlukah kita membahas praktek ngerumpi di tempat kerja yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari? Apakah dampaknya ngerumpi bagi diri kita dan orang lain? Ukuran apakah yang bisa kita jadikan standar untuk membatasi diri kita? Dan apa saja yang masih mungkin kita lakukan untuk mengurangi praktek ngerumpi yang sudah didasari oleh cara penglihatan yang sempit, ibaratnya menggunakan mata kuda ?
Critical Spirit
Istilah critical spirit di sini saya pinjam dari bukunya John C. Maxwell berjudul The 17 Indisputable Laws of Teamwork (Thomas Nelson, Inc: 2001). Meminjam penggunaan dari istilah ini, critical spirit yang dimaksudkan adalah pembicaraan kita tentang orang lain yang hanya didasarkan oleh semangat untuk mengkritik semata. Kritik di sini bukanlah kritik politis yang masih bisa dipilah antara kritik konstruktif dan destruktif tetapi kritik dalam pengertian individu (individual critic) yang sudah menjadi kebiasaan diri kita. Dalam konteks antar individu, John C. Maxwell menempatkan critical spirit sebagai salah satu ancaman bagi kebersamaan sebuah tim usaha.
Salah satu yang menjadi penyebab adalah apa yang oleh pepatah kuno disebut "Lensa Penglihatan Mata Kuda". Setiap orang memiliki dua lensa yang digunakan untuk melihat orang lain. Lensa pertama adalah lensa positif, seperti yang biasa digunakan oleh orang yang sedang mesra-mesranya berpacaran. Lensa kedua, adalah lensa negatif seperti yang digunakan oleh orang yang sudah dikuasai oleh semangat mengkritik. "Lensa positif menutupi segala kesalahan, sementara lensa negatif membongkar seluruh kesalahan".
Meskipun semua orang sudah diberi dua lensa tetapi keduanya tidak bekerja berbarengan dalam satu waktu. Ketika lensa positif yang kita gunakan maka lensa negatif tidak aktif dan begitu juga sebaliknya ketika lensa negatif yang kita gunakan. Berdasarakan kecenderungan umum, penggunaan lensa itu lebih dikendalikan oleh kebiasaan (habits) antara "Lupa" dan "Ingat" kecuali bagi sedikit orang yang sudah belajar menggunakannya secara bergantian sesuai kepentingan (kritik membangun).
Istilah "Lupa" dan "Ingat" ini seperti yang pernah digambarkan oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya sama seperti kita mengenang jasa pahlawan. Ketika kita sedang mengangkat setinggi-tinggi kehebatan seorang tokoh, maka saat itulah sistem saraf kita sedang lupa kekurangannya. Sebaliknya ketika kita sedang menghujat kelemahannya, maka saat itu pula kita sedang lupa kehebatannya. Faktanya, kita sebagai manusia, juga akan secara bergantian dinilai baik buruknya, kurang lebihnya, oleh orang lain dengan menggunakan sistem penilaian lupa dan ingat.
Berarti, penilaian yang sudah melebihi batas proporsinya tidak saja membahayakan bagi orang lain atau lingkungan tetapi justru membahayakan bagi kita. Bahaya yang mungkin paling dekat adalah seperti yang diingatkan oleh Albert Einstein. Setiap orang punya kebebasan memilih salah satu dari dua cara hidup. Cara pertama adalah melihat dunia dengan kesimpulan sebagai mu’jizat, penuh keajaiban, penuh kebaikan, penuh peluang, dan seterusnya (everything’s miracle). Cara kedua adalah melihat dunia dengan kesimpulan sebagai hampa keajaiban (nothing’s miracle), tak ada yang menarik, tak ada yang baik dan tak ada peluang.
Proses Belajar
Langkah Pertama: Timbangan
Dalam praktek hidup mungkin akan terlalu sulit menemukan orang yang tidak pernah membicarkan kejelekan orang lain. Di samping adanya faktor "Lupa" dan "Ingat" yang kita miliki, pun juga tak ada batasan yang jelas antara critical spirit dan kritik membangun (constructive critic), kecuali kitalah yang membikin batasan sendiri.
Salah satu jurus yang bisa kita jadikan standar untuk mengukur porsi yang wajar dan porsi yang kebablasan adalah membuat timbangan yang kita awasi sendiri. Angka timbangan ini bisa kita ambilkan dari temuan Paretto 80: 20 atau 20: 80 dan lain-lain. Bila 80 % dari kebiaasan kita sudah menggunakan lensa negatif, maka yang perlu kita waspadai adalah, jangan-jangan kejelekan orang lain itu selalu nampak di mata kita karena lensa yang kita gunakan mayoritasnya sudah menjadi negative, baik yang kita gunakan untuk melihat ke dalam atau keluar.
Sebaliknya kalau kesadaran kita menyimpulkan bahwa hanya 20 % dari kebiasaan kita yang menggunakan lensa negatif, kira-kira secara manusiawi bolehlah kita mengatakan masih wajar, ada alasan yang mendukung, kritik yang memang dibutuhkan, kritik yang mungkin bisa membangun atau kritik yang bisa kita gunakan sebagai cermin bagi diri kita tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik, tentang apa yang salah dan apa yang tidak salah. Semua orang sudah tahu bahwa orang lain itu terkadang sama seperti kita: ada bagian yang kurang dan ada bagian yang pas. Semua orang juga sudah tahu bahwa keadaan itu terkadang bisa berubah meleset secara brutal tetapi terkadang juga berubah secara lunak
Langkah Kedua: Rumus 3M
Langkah ini pernah ditulis oleh Jim Rohn (Evaluating Your Associations Part 1 & II, Jim Rohn International: 2004) dan bisa kita gunakan untuk menyiasati ajakan ngerumpi dari lingkungan kerja yang menurut kita sudah sampai pada porsi kebablasan dan tidak menutup kemungkinan akan membuat kita ketularan energi negatif.
Rumus pertama, adalah memutuskan (M1). Bukan memutuskan hubungan dengan orang per orangnya secara fisik karena faktor kebencian, karena factor ini pun berpotensi melahirkan critical spirit. Kita bisa melakukannya dengan cara asertif dan lebih damai, misalnya saja kita bisa memutuskan untuk berniat menjadi orang yang lebih baik tanpa harus membandingkan dan mengkaitkan "kebaikan" kita dengan keburukan / kejelekan orang lain. Cara lain untuk memutuskan adalah tidak menyambung api pembicaraan negatif dengan memberi bahan bakar supaya lebih besar dan menyala-nyala. Masih banyak lagi cara-cara yang bisa kita tempuh untuk memutuskan saluran energi negatif lingkungan tanpa harus membuat hubungan kita putus dengan orang-orangnya.
Rumus kedua, adalah membatasi (M2). Membatasi inipun bentuk dan jenisnya tidak hanya satu tetapi cukup variatif, tergantung pilihan yang menurut kita cocok. Kita bisa membatasi diri kita dengan materi atau frekuensi atau jenis kelompok orang tertentu. Dan lagi, kalau kita masih belum mampu membuat batasan fisik, batasan yang bisa kita gunakan adalah batas mental semacam "sistem seleksi dan pengecualian", tidak semua kita terima pun juga tidak semua kita tolak: ngerumpi selektif.
Rumus ketiga, adalah memperluas (M3). Memperluas inipun bisa bermacam bentuk dan jenisnya. Kita bisa memperluas dengan cara menambah inisiatif aktivitas yang bisa kita lakukan dan bisa pula menambah dengan cara memperluas jaringan hubungan untuk mendapatkan pilihan yang lebih banyak. Menambah inisitif untuk melakukan sesuatu yang bisa mengurangi kerentananan terhadap "gampang terkena godaan" ajakan ngerumpi yang menurut kita sudah tidak sehat lagi tidak sehat.
Formula di atas tak akan lebih manjur melebihi kesadaran dan kontrol kita untuk membedakan mana ngerumpi yang dibutuhkan dan ngerumpi yang tidak dibutuhkan. Kesadaran pulalah yang akan lebih kuat untuk membedakan apakah kejelekan orang lain yang nampak di mata kita itu karena orang lain memang sedang jelek atau lensa yang kita gunakan sedang jelek. Semoga berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar