Senin, 21 Februari 2011

Pede Atau Egois?

Pendapat para ahli yang diilhami kenyataan menyimpulkan bahwa rasa percaya diri atau sering diistilahkan dengan "pede" merupakan kualitas personal yang dibutuhkan. Dengan merasa pede berarti kita sudah memulai perjalanan hidup yang berlandaskan pada keunggulan-diri, arah kiblat (direction) yang sudah kita tentukan, fokus hidup yang telah kita pilih, keputusan hidup yang telah kita ambil dan kemudian membuat kita merasa punya hak untuk mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan. Kekuatan pede juga membuat kita yakin bahwa tantangan apapun yang menghadang masih berada dalam kapasitas kita untuk diselesaikan.
 
Tetapi dalam praktek, kata pede sudah mengalami "over-used" dan tidak jarang didefinisikan secara kabur antara pede yang kita butuhkan dan pede yang seharusnya tidak kita miliki (penyimpangan). Orang sering salah mengalamatkan penilaian  antara pede dengan ego-centered (egoisme), menang sendiri atau merasa benar sendiri.  Padahal kalau kita telusuri sampai ke akar, perbedaan antara pede yang menyimpang dan pede yang lurus (self confidence)  bukan karena persoalan kadar melainkan murni berbeda di tingkat sumber motif. Artinya, baik praktek perilaku, sifat, dan sikap egois bukanlah karena kadar rasa percaya diri yang terlalu kuat melainkan justru karena kurang dari kadar yang dibutuhkan dan akhirnya menyimpang.

Motif 

Pede  yang menyimpang berangkat dari sumber motif berupa perasaan yang merasa kurang (feeling of lack) secara berlebihan (excessive). Ketika orang membangun asumsi dasar tentang dirinya bahwa ia tidak memiliki kemampuan potensial yang cukup untuk diolah menjadi keunggulan guna mengalahkan tantangan atau meraih apa yang benar-benar diinginkan, maka perasaan tersebut pada kadar yang terus dibiarkan akan menggumpal bersama keyakinan bahwa untuk mendapatkan seseuatu tidak ada jalan lain lagi kecuali mengambil dari luar. Keyakinan demikian akan menghasilkan praktek yang bertabrakan dengan kepentingan orang lain yang memiliki keyakinan serupa. Di level internal, keyakinan demikian sering membuat orang merasa tidak punya alasan untuk menghargai dirinya secara positif, misalnya saja munculnya perasaan self-laziness atau "The 'I cannot' attitude".
 
Pede yang yang menyimpang (contoh: ego-centered, dll.) juga berangkat dari sumber perasaan yang merasa takut secara berlebihan (feeling of fear). Asumsi personal yang sering dipakai adalah ketika kita mulai merasa bahwa sumber keamanan (penyelesaian masalah) berada di luar diri dan sangat terbatas jumlahnya sehingga sedikit saja tersenggol oleh kepentingan atau keinginan orang lain akan membuat  kita merasa sulit memaafkan orang tersebut seumur hidup. Kita menjadi cepat tersinggung dengan letupan amarah yang tidak terkontrol. Rasa takut yang negatif juga sering membuat pagar mental berupa ketakutan menghadapi tantangan yang merupakan risiko hidup. Kedua perasaan itulah yang kemudian menghasilkan kesimpulan rasa rendah diri (inferioritas) yang bisa ditampilkan dalam bentuk perilaku, sifat, atau sikap secara aggressive atau submissive.
 
Orang yang pede dalam arti 'self confidence' bukanlah orang yang  tidak memiliki rasa takut atau rasa kurang tetapi ia memiliki kemampuan bagaimana   menguasainya (self mastery) agar tetap berada dalam norma kadar yang bisa dikendalikan. Asumsi dasar yang digunakan berangkat dari perasaan memiliki kemampuan (self-sufficient) untuk mengatasi tantangan dan merealisasikan apa yang diinginkan. Rasa Percaya diri seperti inilah yang sebenarnya kita butuhkan. Bedanya lagi, pede yang terakhir adalah murni berupa pencapaian kualitas hidup yang diraih seseorang melalui proses usaha, sementara pede yang menyimpang bisa kita katakan sebagai limbah yang berarti untuk mencapainya tidak diperlukan proses atau usaha pun.
 

Kompas 

 
Di dalam diri kita sebenarnya sudah diciptakan kompas (patokan) yang dapat  membedakan antara pede  yang meyimpang dan pede yang benar-benar kita butuhkan, yaitu:
  1. Perasaan (Emotional)
  2. Hati (Spiritual)
  3. Akal (Intellectual)
Ketiga kompas di atas adalah anugerah (kemampuan potensial). Agar bisa  bekerja membantu kita dibutuhkan syarat yaitu menciptakan usaha untuk mencerdaskannya secara terus-menerus.
 
Perasaan adalah perangkat internal untuk merasakan impuls atau stimuli (godaan & tawaran) yang dapat membedakan bad dan good. Perasaan tidak memiliki mata tetapi lebih banyak memiliki telinga, 'pendengaran' sehingga ketika sensitivitasnya tajam (dicerdaskan) akan membuat orang langsung  bisa merasakan mana pede yang good (confidence) di antara pede yang bad (egoism) meskipun tidak kelihatan.
 
Hati berfungsi untuk memaknai kebenaran  hukum alam yang sudah diformalkan atau yang belum. Meskipun  manusia bisa meng-elaborasi kebenaran  menjadi sekian bentuk sesuai kepentingan masing-masing, tetapi hatilah yang akan berbicara dengan "suara hati kecil".  Dilihat dari sebutannya saja sudah bisa ditebak mengapa kita jarang mendengarkannya. Sudah lokasinya di dalam, bentuknya kecil selain itu suaranya pun kecil. Kalau tidak dicerdaskan akan membuat telinga kita (perasaan) sulit mendengarkan suara hati apalagi penglihatan.
 
Akal berfungsi untuk menalar  antara materi yang tepat (correct) dan yang tidak tepat (incorrect). Akal memiliki banyak penglihatan sehingga dikatakan 'the window', pintu exit-permit yang bisa menyumbangkan muatan perasaan atau keyakinan. Patut diakui di antara penyebab penyimpangan adalah adanya pengetahuan oleh akal yang tidak bisa menghasilkan pemahaman personal secara definitive antara rasa percaya diri dan egoisme. Pengetahuan yang rancau, abstrak, dan berada pada level umum sulit mendorong kita pada  keputusan hidup yang definitif. Walhasil kita berperilaku egois karena egois yang kita pahami adalah egois dalam pengertian rasa percaya diri menurut kita.
 
Ketiga kompas internal di atas  dapat bekerja secara proporsional (saling mendukung-melengkapi) apabila usaha yang kita jalankan dalam rangka mencerdaskan tidak terjadi  anak-emas dan anak tiri atau anak yatim. Pengalaman mengajarkan, perlakuan dikotomis atas kompas internal di atas melahirkan sifat, watak dan perilaku yang kontradiktif  dan pincang. Ada orang yang sebagian waktunya digunakan berada di tempat ibadah dengan khusuk tetapi giliran punya persoalan air dengan tetangga perasaannya tidak berfungsi secara proporsional.
 

Beberapa Saran 

 
Penyimpangan adalah  persoalan manusiawi dan normal tetapi yang sering bikin abnormal adalah kebablasan yang berkelanjutan dan tidak kita perbaiki. Beberapa materi pembelajaran berikut dapat kita jadikan acuan untuk mempertebal rasa percaya diri agar tidak menyimpang ke praktek yang tidak diinginkan:
 
1.  Kebiasaan
 
Memiliki kebiasaan untuk mencerdaskan pikiran, perasaan, dan hati adalah kebutuhan mutlak. Tanpa dicerdaskan tidak berarti stabil sebab impuls dan stimuli dunia terus berubah di mana kalau kita tidak diiringi dengan perubahan diri akan mudah terjebak. Pikiran yang dicerdaskan dengan pengetahuan akan memperbaiki sudut pandang yang akan menjadi sumber rasa percaya diri. Perasaan yang dicerdaskan akan memperbaiki pemahaman 'merasakan' apa yang terjadi pada diri sendiri, orang lain dan dunia (wilayah kita). Hati yang dicerdaskan dengan kebiasaan memaknai akan mempertebal keyakinan bahwa semua yang kita lakukan baik atau buruk, kecil atau besar pada akhirnya akan mendapat balasan.
 
2.  Kekuatan 
 
Rasa percaya diri identik dengan kekuatan pribadi (personal power) yang bisa kita bangun dengan menggunakan dua jurus yaitu menyerang dan mempertahankan. Untuk mempertebal rasa percaya diri, jurus menyerang  harus kita gunakan untuk melawan kecenderungan internal yang menawarkan godaan untuk menyimpang sementara jurus mempertahankan  kita gunakan untuk memperkuat pertahanan dari serangan luar. Penggunaan yang salah dengan membalik fungsi  akan memperlemah personal power yang berarti dapat memperlemah rasa percaya diri.
 
3.  Komitmen
 
Memiliki komitmen untuk merealisasikan gagasan ke tindakan secara sirkulatif bisa mempertebal rasa percaya diri dengan syarat sampai mendapat apa yang disebut "the moment of truth" atau sampai benar-benar berhasil. Apa yang sering menjadi persoalan adalah kita sering menggunakan ideology "mencoba" tanpa komitmen sampai berhasil. Ideologi demikian sulit diharapkan bisa mempertebal rasa percaya diri. Bahkan kalau sering gagal lalu kita tinggalkan dengan mengganti yang lain dan akhirnya gagal juga malah akan membuat kita ragu-ragu.  
Sekelumit penjelasan di atas hanyalah mewakili dari sekian tampilan monitor sikap, perilaku dan sifat yang awalnya dibedakan pada tingkat sumber motif di dalam. Tidak kelihatan, kecil, dan sering kita anggap tidak membahayakan bagi diri kita apalagi orang lain. Meskipun demikian, Tuhan telah memberikan perangkat yang bisa membenahi sebelum akhirnya tampil di monitor. Di luar ketiga perangkat yang sudah ada, terdapat satu perangkat yang inti, yaitu kemauan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar