Senin, 21 Februari 2011

Pede Atau Egois?

Pendapat para ahli yang diilhami kenyataan menyimpulkan bahwa rasa percaya diri atau sering diistilahkan dengan "pede" merupakan kualitas personal yang dibutuhkan. Dengan merasa pede berarti kita sudah memulai perjalanan hidup yang berlandaskan pada keunggulan-diri, arah kiblat (direction) yang sudah kita tentukan, fokus hidup yang telah kita pilih, keputusan hidup yang telah kita ambil dan kemudian membuat kita merasa punya hak untuk mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan. Kekuatan pede juga membuat kita yakin bahwa tantangan apapun yang menghadang masih berada dalam kapasitas kita untuk diselesaikan.
 
Tetapi dalam praktek, kata pede sudah mengalami "over-used" dan tidak jarang didefinisikan secara kabur antara pede yang kita butuhkan dan pede yang seharusnya tidak kita miliki (penyimpangan). Orang sering salah mengalamatkan penilaian  antara pede dengan ego-centered (egoisme), menang sendiri atau merasa benar sendiri.  Padahal kalau kita telusuri sampai ke akar, perbedaan antara pede yang menyimpang dan pede yang lurus (self confidence)  bukan karena persoalan kadar melainkan murni berbeda di tingkat sumber motif. Artinya, baik praktek perilaku, sifat, dan sikap egois bukanlah karena kadar rasa percaya diri yang terlalu kuat melainkan justru karena kurang dari kadar yang dibutuhkan dan akhirnya menyimpang.

Motif 

Pede  yang menyimpang berangkat dari sumber motif berupa perasaan yang merasa kurang (feeling of lack) secara berlebihan (excessive). Ketika orang membangun asumsi dasar tentang dirinya bahwa ia tidak memiliki kemampuan potensial yang cukup untuk diolah menjadi keunggulan guna mengalahkan tantangan atau meraih apa yang benar-benar diinginkan, maka perasaan tersebut pada kadar yang terus dibiarkan akan menggumpal bersama keyakinan bahwa untuk mendapatkan seseuatu tidak ada jalan lain lagi kecuali mengambil dari luar. Keyakinan demikian akan menghasilkan praktek yang bertabrakan dengan kepentingan orang lain yang memiliki keyakinan serupa. Di level internal, keyakinan demikian sering membuat orang merasa tidak punya alasan untuk menghargai dirinya secara positif, misalnya saja munculnya perasaan self-laziness atau "The 'I cannot' attitude".
 
Pede yang yang menyimpang (contoh: ego-centered, dll.) juga berangkat dari sumber perasaan yang merasa takut secara berlebihan (feeling of fear). Asumsi personal yang sering dipakai adalah ketika kita mulai merasa bahwa sumber keamanan (penyelesaian masalah) berada di luar diri dan sangat terbatas jumlahnya sehingga sedikit saja tersenggol oleh kepentingan atau keinginan orang lain akan membuat  kita merasa sulit memaafkan orang tersebut seumur hidup. Kita menjadi cepat tersinggung dengan letupan amarah yang tidak terkontrol. Rasa takut yang negatif juga sering membuat pagar mental berupa ketakutan menghadapi tantangan yang merupakan risiko hidup. Kedua perasaan itulah yang kemudian menghasilkan kesimpulan rasa rendah diri (inferioritas) yang bisa ditampilkan dalam bentuk perilaku, sifat, atau sikap secara aggressive atau submissive.
 
Orang yang pede dalam arti 'self confidence' bukanlah orang yang  tidak memiliki rasa takut atau rasa kurang tetapi ia memiliki kemampuan bagaimana   menguasainya (self mastery) agar tetap berada dalam norma kadar yang bisa dikendalikan. Asumsi dasar yang digunakan berangkat dari perasaan memiliki kemampuan (self-sufficient) untuk mengatasi tantangan dan merealisasikan apa yang diinginkan. Rasa Percaya diri seperti inilah yang sebenarnya kita butuhkan. Bedanya lagi, pede yang terakhir adalah murni berupa pencapaian kualitas hidup yang diraih seseorang melalui proses usaha, sementara pede yang menyimpang bisa kita katakan sebagai limbah yang berarti untuk mencapainya tidak diperlukan proses atau usaha pun.
 

Kompas 

 
Di dalam diri kita sebenarnya sudah diciptakan kompas (patokan) yang dapat  membedakan antara pede  yang meyimpang dan pede yang benar-benar kita butuhkan, yaitu:
  1. Perasaan (Emotional)
  2. Hati (Spiritual)
  3. Akal (Intellectual)
Ketiga kompas di atas adalah anugerah (kemampuan potensial). Agar bisa  bekerja membantu kita dibutuhkan syarat yaitu menciptakan usaha untuk mencerdaskannya secara terus-menerus.
 
Perasaan adalah perangkat internal untuk merasakan impuls atau stimuli (godaan & tawaran) yang dapat membedakan bad dan good. Perasaan tidak memiliki mata tetapi lebih banyak memiliki telinga, 'pendengaran' sehingga ketika sensitivitasnya tajam (dicerdaskan) akan membuat orang langsung  bisa merasakan mana pede yang good (confidence) di antara pede yang bad (egoism) meskipun tidak kelihatan.
 
Hati berfungsi untuk memaknai kebenaran  hukum alam yang sudah diformalkan atau yang belum. Meskipun  manusia bisa meng-elaborasi kebenaran  menjadi sekian bentuk sesuai kepentingan masing-masing, tetapi hatilah yang akan berbicara dengan "suara hati kecil".  Dilihat dari sebutannya saja sudah bisa ditebak mengapa kita jarang mendengarkannya. Sudah lokasinya di dalam, bentuknya kecil selain itu suaranya pun kecil. Kalau tidak dicerdaskan akan membuat telinga kita (perasaan) sulit mendengarkan suara hati apalagi penglihatan.
 
Akal berfungsi untuk menalar  antara materi yang tepat (correct) dan yang tidak tepat (incorrect). Akal memiliki banyak penglihatan sehingga dikatakan 'the window', pintu exit-permit yang bisa menyumbangkan muatan perasaan atau keyakinan. Patut diakui di antara penyebab penyimpangan adalah adanya pengetahuan oleh akal yang tidak bisa menghasilkan pemahaman personal secara definitive antara rasa percaya diri dan egoisme. Pengetahuan yang rancau, abstrak, dan berada pada level umum sulit mendorong kita pada  keputusan hidup yang definitif. Walhasil kita berperilaku egois karena egois yang kita pahami adalah egois dalam pengertian rasa percaya diri menurut kita.
 
Ketiga kompas internal di atas  dapat bekerja secara proporsional (saling mendukung-melengkapi) apabila usaha yang kita jalankan dalam rangka mencerdaskan tidak terjadi  anak-emas dan anak tiri atau anak yatim. Pengalaman mengajarkan, perlakuan dikotomis atas kompas internal di atas melahirkan sifat, watak dan perilaku yang kontradiktif  dan pincang. Ada orang yang sebagian waktunya digunakan berada di tempat ibadah dengan khusuk tetapi giliran punya persoalan air dengan tetangga perasaannya tidak berfungsi secara proporsional.
 

Beberapa Saran 

 
Penyimpangan adalah  persoalan manusiawi dan normal tetapi yang sering bikin abnormal adalah kebablasan yang berkelanjutan dan tidak kita perbaiki. Beberapa materi pembelajaran berikut dapat kita jadikan acuan untuk mempertebal rasa percaya diri agar tidak menyimpang ke praktek yang tidak diinginkan:
 
1.  Kebiasaan
 
Memiliki kebiasaan untuk mencerdaskan pikiran, perasaan, dan hati adalah kebutuhan mutlak. Tanpa dicerdaskan tidak berarti stabil sebab impuls dan stimuli dunia terus berubah di mana kalau kita tidak diiringi dengan perubahan diri akan mudah terjebak. Pikiran yang dicerdaskan dengan pengetahuan akan memperbaiki sudut pandang yang akan menjadi sumber rasa percaya diri. Perasaan yang dicerdaskan akan memperbaiki pemahaman 'merasakan' apa yang terjadi pada diri sendiri, orang lain dan dunia (wilayah kita). Hati yang dicerdaskan dengan kebiasaan memaknai akan mempertebal keyakinan bahwa semua yang kita lakukan baik atau buruk, kecil atau besar pada akhirnya akan mendapat balasan.
 
2.  Kekuatan 
 
Rasa percaya diri identik dengan kekuatan pribadi (personal power) yang bisa kita bangun dengan menggunakan dua jurus yaitu menyerang dan mempertahankan. Untuk mempertebal rasa percaya diri, jurus menyerang  harus kita gunakan untuk melawan kecenderungan internal yang menawarkan godaan untuk menyimpang sementara jurus mempertahankan  kita gunakan untuk memperkuat pertahanan dari serangan luar. Penggunaan yang salah dengan membalik fungsi  akan memperlemah personal power yang berarti dapat memperlemah rasa percaya diri.
 
3.  Komitmen
 
Memiliki komitmen untuk merealisasikan gagasan ke tindakan secara sirkulatif bisa mempertebal rasa percaya diri dengan syarat sampai mendapat apa yang disebut "the moment of truth" atau sampai benar-benar berhasil. Apa yang sering menjadi persoalan adalah kita sering menggunakan ideology "mencoba" tanpa komitmen sampai berhasil. Ideologi demikian sulit diharapkan bisa mempertebal rasa percaya diri. Bahkan kalau sering gagal lalu kita tinggalkan dengan mengganti yang lain dan akhirnya gagal juga malah akan membuat kita ragu-ragu.  
Sekelumit penjelasan di atas hanyalah mewakili dari sekian tampilan monitor sikap, perilaku dan sifat yang awalnya dibedakan pada tingkat sumber motif di dalam. Tidak kelihatan, kecil, dan sering kita anggap tidak membahayakan bagi diri kita apalagi orang lain. Meskipun demikian, Tuhan telah memberikan perangkat yang bisa membenahi sebelum akhirnya tampil di monitor. Di luar ketiga perangkat yang sudah ada, terdapat satu perangkat yang inti, yaitu kemauan.

Apakah Perselingkuhan Dimonopoli oleh Kaum Pria?

Menurut penelitian, perselingkuhan dalam kehidupan perkawinan bukanlah monopoli kaum pria atau suami-suami. Sebaliknya, para istri juga ternyata bisa saja berselingkuh selama bertahun-tahun tanpa diketahui oleh suaminya!
 
Bedanya, jika di suatu saat perselingkuhan itu diketahui oleh suaminya, maka sang istri biasanya ingin segera menghentikan perselingkuhannya dan mempertahankan perkawinannya. Namun jika ia memilih untuk tetap mempertahankan hubungannya dengan pria selingkuhannya, maka itu berarti ia ingin mengakhiri perkawinannya dan bercerai dengan suaminya. Sebaliknya para ahli menemukan bahwa ternyata para suami yang ketahuan berselingkuh pada umumnya  tidak ingin mengakhiri perselingkuhannya tersebut. Para suami tersebut lebih suka jika diijinkan untuk menjalani kedua kehidupan tersebut, menikah dan juga punya affair.

Siapakah Penentu Keberhasilan Saya?

Dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada kenyataan peristiwa, di mana ada orang yang punya perjalanan karir lancar, cepat meroket, dan "hoki-an" alias gampang mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Memulai dari staff baru, masuk dalam kelompok karyawan yang diperhitungkan, menduduki posisi manajer, memimpin kantor cabang dan seterusnya bahkan ada yang sampai menjadi calon menantu orang atasan di perusahaan.
 
Di sisi lain ada juga yang menghadapi perjalanan karir penuh duri, lamban bergerak, dan kalau mau memutuskan pindah ke tempat lain, rasanya susah sekali mendapatkan gantinya hingga kemudian balik lagi ke tempat yang lama. Ada juga orang yang dari dulu sampai sekarang, posisinya itu-itu saja bahkan masalah gaji dan perlakuan lain-lain sudah kalah ketinggalan, meski secara usia dan lama bekerja, ia termasuk orang yang paling lama bekerja. Keragaman kenyataan itu membuat kita bertanya-tanya, apa yang membedakan keberhasilan  dan kegagalan tersebut? 

Alternatif Jawaban


Dari praktek hidup sehari-hari sedikitnya kita menemukan tiga alternatif pilihan siapa penentu kemajuan atau kemunduran saya: 
  1. "Si nasib"
  2. "Si peluang" (kita gagal karena "si peluang" memilih hinggap di orang lain)
  3. Diri sendiri (karena usaha dan prestasi diri kita sendiri)
Jawaban manakah yang paling benar?

Dalam buku The Failing Forward, John C Maxwell menulis bahwa keberanian untuk menggunakan alternatif jawaban ke-3 lah yang menjadi pembeda: antara kemajuan yang berasal dari kegagalan, atau kemunduran karena kegagalan (failing backward).

Belajar Memotivasi Diri Sendiri


a.  Nasib

Kita perlu memahami nasib, dalam prinsip aktif-optimum-seimbang): 100 % Tuhan  dan 100 % manusia (aktif-optimum-seimbang). Untungnya apa?
Dengan memilih pengertian ini berarti kita berani menuding diri sendiri secara positif bahwa nasib buruk yang menimpa karir kita bukan disebabkan oleh siapa-siapa tetapi kitalah yang secara tidak sadar memilih untuk diam. Jadi, kita sendiri lah yang harus memprakarsai tindakan-tindakan yang kalau kita lakukan akan membuat posisi karir kita bergerak naik.
Sebaliknya jurus ini juga sangat menolong kita dari kealpaan terhadap Tuhan, saat kita sedang bahagia, kaya, sejahtera, mujur. Kemewahan, prestasi, dan kesukesan sering membuat kita lupa akan Tuhan. Kita sering terlalu sombong, terlalu bangga pada diri sendiri dan sombong terhadap Tuhan.

b.  Peluang

Selama ini kita sering menyimpulkan bahwa nasib buruk yang menimpa karir kita adalah karena kita tidak diberi peluang maju oleh kantor sebagaimana yang dialami orang  lain. Ubahlah pemahaman itu dengan melihat peluang dari sisi lain:  bahwa orang lain tidak akan memberi peluang selama kita tidak mencari, menciptakan, memberi dan membuka diri untuk peluang.  Contoh tindakan kongkrit:

  • Tidak perlu menunggu diberi kesempatan belajar tetapi kitalah yang perlu menciptakan kesempatan untuk belajar dari pekerjaan yang selama ini kita tangani. Belajar berarti mengubah ketidakmampuan menjadi kemampuan - keterampilan dan kompetensi baru.
  • Tidak perlu menunggu paksaan wajib belajar tetapi kitalah yang perlu menanamkan betapa pentingnya mempelajari pekerjaan itu bagi kepentingan kita (sense of urgency) nanti dan suatu saat.
  • Tidak perlu menunggu kepastian apa untungnya kalau kita mempelajari pekerjaan tetapi kitalah yang memastikan keuntungan itu (result and benefit).
  • Tidak perlu menunggu dilindungi atasan kalau kita salah tetapi kitalah yang memberanikan diri untuk mengutak-utik cara mengerjakan pekerjaan yang lebih efektif dan efisien dengan tetap menjaga Tidak perlu menunggu kekalahan telak untuk bangkit tetapi kitalah yang perlu memacu semangat hidup kita setiap hari untuk selalu berpikir dan berjalan ke depan, serta tidak memandang kejatuhan sebagai akhir dari segalanya.
  • Tidak perlu menunggu keadaan sampai sempurna untuk bertindak tetapi kitalah yang perlu menyempurnakan keadaan.
  • Tidak perlu menunggu peluang mendatangi kita tetapi kitalah yang mesti menciptakan persiapan atas datangnya peluang.
Menurut hukum kebiasaan dan pengalaman sejumlah orang berprestasi di bidang kerjanya, peluang  seperti tamu agung yang sensitive dan beradab. Meskipun sudah mendatangi kita dan kita tunggu kedatangannya tetapi kalau cara kita menyambut kedatangannya sambil duduk dan kurang semangat, dia akan cepat pamit meninggalkan kita karena tersinggung. Pengalaman Norman Vincent Peale menyimpulkan: "Saya adalah orang yang paling percaya pada keberuntungan. Semakin giat saya bekerja saya merasakan semakin banyak keberuntungan yang mendatangi saya". 

c.  Membangun diri

Untuk menjawab berbagai kelemahan yang tidak kita ciptakan dengan sengaja (akibat dari  pembawaan lahir atau pengalaman negatif masa lalu) strategi yang mungkin kita lakukan adalah strategi  3A milik Murdo Macleod dalam "7 Steps to Mental mastery" berikut ini:  
  • A1 = Accept (menerima)
  • A2 = Ask (mempertanyakan)
  • A3 = Action (melakukan)
Terlebih dahulu, kita perlu belajar mengembangkan sikap menerima dan/atau memaafkan masa lalu (diri sendiri maupun orang-orang yang terlibat/ berpengaruh dalam kehidupan kita). Agar kita bisa memaafkan maka kita perlu menciptakan pertanyaan yang mengarah pada penemuan positif dari pengalaman / keadaan di masa lalu (mengambil hikmahnya). Makna positif itu, mendorong kita semakin memahami apa sebenarnya yang menjadi panggilan hidup kita, dan apa kontribusi pengalaman tersebut terhadap "asset mental" diri sendiri dan terhadap perkembangan diri hingga saat ini. Pemahaman akan panggilan dan arah kehidupan, dan pemahaman akan "asset mental" serta kemampuan actual saat ini, membuat tindakan, pola pikir dan sikap kita lebih terencana, konstruktif, positif dan bertujuan (positif).
Dinamika kehidupan yang harus dihadapi setiap manusia, perlu di respon secara tepat. Tidak ada salahnya jika kita bersikap kritis, mempertanyakan segala sesuatu untuk menemukan makna dan nilai utama - yang amat berarti bagi perjalanan menuju kedewasaan dan keberhasilan hidup. Janganlah kita membatasi diri (self limitting belief), dengan pola pikir yang keliru atau dengan strategi/ cara-cara yang terbatas. Lain persoalan, lain pula cara menghadapinya. Dengan berpikir positif  dan bersikap proaktif dalam menghadapi hidup ini, yakinlah bahwa kita dapat memiliki kehidupan yang lebih baik! Semoga bermanfaat!

Anakku Malas Belajar

Anak sekolah, tentunya perlu belajar, entah mengulang kembali pelajaran yang sudah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah (PR) ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pelajaran sekolah. Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar pasti sudah disadari oleh seluruh orangtua.
Keluhan yang datang dari orangtua pada umunya lebih banyak menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya ke orang-orang dengan nada bangga, "Iya loh Pak Dani, anak saya itu belajarnya rajin sekali. Pulang sekolah belajar, bangun tidur siang belajar, terus malam kalau bapaknya sudah pulang ya belajar lagi. Makanya anak saya itu pintar sekali, apa-apa tahu. Kadang-kadang malah saya yang nggak tahu".
Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, "Aduuuuuuh Pak Dani, anak saya ini kerjanya main melulu.... Siang main, sore main, malam juga main. Saya dan bapaknya kalau mau menyuruh dia belajar, harus teriak-teriak dulu, mengancam dulu, baru dia mau belajar. Pusing saya jadinya. Sudah begitu perkalian saja tidak hafal".

Penyebab
Kalau anak enggak belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain
  • Punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang "kacau" misal karena ada adik baru).
  • Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).
  • Sedang sakit.
  • Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan)
  • Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan kebanyakan), hanya memang MALAS.

Malas

Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan, tak suka, tak bernafsu untuk belajar.
Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).

Motivasi
Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang.
Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori motivasi:
1. Teori insentif
Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan.
2. Pandangan hedonistik
Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan. Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke pasar/supermarket.
Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar.

Memberikan Dorongan Agar Anak Mau Belajar
Sehubungan dengan teori motivasi di atas tentunya bisa dikatakan dengan mudah, ayo kita berikan dorongan agar anak mau belajar. Tapi dorongan seperti apa yang dapat diberikan kepada anak?
Berikut ini adalah beberapa buah saran:
  1. Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh (peristiwa ini mungkin jarang terjadi, tapi jika saat terjadi orangtua memperhatikan dan menunjukkannya, hal tersebut bisa menjadi insentif yang berharga buat anak). Pujian selain merupakan insentif langsung, juga menunjukkan penghargaan dan perhatian dari orangtua terhadap anak. Anak seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi daripada memberikan perhatian ketika anak tidak mau belajar dengan cara marah-marah, dan ketika belajar tanpa disuruh orangtua tidak memberikan komentar apapun, atau hanya komentar singkat tanpa kehangatan, akan lebih efektif perhatian orangtua diarahkan pada perilaku-perilaku yang baik.
  2. Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan "Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh, dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya".
  3. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut menjawab kuis di tv). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan "Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya.
Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan, karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan menyenangkan, dengan demikian akan dihindari.

Membuat Suasana Belajar Lebih Menyenangkan
Selain tidak sering-sering memarahi anak ketika belajar, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan agar suasana belajar lebih menyenangkan dan anak mau belajar. Hal-hal tersebut adalah:
  1. Anak cenderung meniru perilaku orangtua, karena itu jadilah contoh buat anak. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku-buku). Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar). Dengan demikian, anak melihat bahwa orangtuanya sampai tua pun tetap belajar.
  2. Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.
  3. Anak butuh suatu kepastian, hal-hal yang dapat diprediksi. Jadi jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti. Misalnya ketika sudah ditentukan, waktu belajar adalah 2 jam setiap hari, pukul 17.00-19.00, maka pada jam tersebut harus digunakan secara konsisten sebagai waktu belajar. Kecuali disebabkan hal-hal yang mendesak, misalnya anak baru sampai rumah pukul 16.30, tentunya tidak bijaksana memaksa anak harus belajar pukul 17.00, karena masih lelah.
  4. Anak punya daya konsentrasi dan rentang perhatian yang berbeda-beda. Misalnya ada anak yang bisa belajar terus-menerus selama 1 jam, ada yang hanya bisa selama setengah jam. Kenali pola ini dan susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai. Bagi anak yang hanya mampu berkonsentrasi selama 30 menit, maka berikan waktu istirahat 5-10 menit setelah ia belajar selama 30 menit. Demikian untuk anak yang mampu belajar lebih lama.
  5. Dalam artikel di Tabloid Nova edisi Maret 2002, disarankan agar orangtua menemani anak ketika belajar. Dalam hal ini orangtua tidak perlu harus terus-menerus berada di samping anak karena mungkin Anda sebagai orangtua memiliki pekerjaan. Namun paling tidak ketika anak mengalami kesulitan, Anda ada di dekatnya untuk membantu.
Demikian hal-hal yang dapat disarankan untuk membantu orangtua memberikan motivasi anak agar mau belajar. Semoga berguna dan dapat berhasil diterapkan. Orangtua senang, tidak lelah berteriak-teriak dan marah-marah, anak pun senang tidak dimarahi dan merasa menyukai kegiatan belajar.

Kampus Bukan Hotel Singgah

Dunia pendidikan sering mendapatkan tuduhan tidak menghadirkan realitas kehidupan, sehingga para lulusannya menjadi ‘mati gaya’ ketika saatnya turun gunung. Perguruan tinggi sering pula mendapatkan label ‘menara gading’. Kalimat ini menggambarkan jauhnya realitas di kampus dengan realitas kehidupan di luar kampus. Pengalaman sebagai pengajar di dua kampus swasta Jakarta memberi saya pemahaman yang sedikit ‘berbeda’ dan memperlihatkan hal lain dari label di atas. Label yang kemudian terasa menjadi ‘excuse’ masyarakat Indonesia, menguak isu kebiasaan kalau bukan disebut ‘budaya’ kita yang lebih krusial.
 
‘Apa ada yang kita pelajari di kelas yang digunakan sehari-hari?’ Apakah mempelajari filsafat ada manfaatnya di pekerjaan? Apakah dalam interview kerja akan ditanyakan pemikiran Socrates? Apakah teori dan jurnal sains itu dapat digunakan kelak ketika bernegosiasi dengan klien atau menarik konsumen? Masih banyak gurauan dan pernyataan sinis sekaligus miris yang akrab di percakapan sehari-hari. Kita bisa menemui di kantin kampus hingga perkantoran. Jawabannya tentu : TIDAK ADA.
 
Kampus adalah realitas
Lebih dari sekali – dua kali saya mendapatkan pertanyaan dengan wajah ‘memelas’, “Haruskah menggunakan textbook?” Mereka nampak kecewa mengetahui ‘pelarangan’ Om Google sebagai ‘handbook’  mata kuliah.  Banyak mahasiswa juga yang masih keliru menganggap mesin pencari ini sebagai ‘referensi’. Padahal telah banyak penerbit Indonesia yang menerjemahkan textbook sehingga jauh lebih terjangkau dan lebih mudah ditemukan dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.
 
Menggunakan di sini juga bermakna variatif, mulai dari membeli, mengkopi beberapa bagian hingga meminjam di perpustakaan atau teman (kakak tingkat). Hingga saya pernah mengajak mahasiswa untuk mengingat scene-scene dalam film Hollywood yang terkesan ‘hura-hura’. Dalam adegan sekolah atau kampus, mahasiswa atau siswa dengan warna-warni penampilan (dari funky – sexy) tetap menenteng bertumpuk buku di tangannya.
 
Jika melukiskan ekspresi mahasiswa dengan kartun, ada satu bubble sama di atas kepala mereka, “Kuliah tidak sama dengan kerja kelak”; “Ini hanya teori”, dsb. Citra ini yang sedikit banyak menjadi dorongan negatif untuk kurang atau tidak bersungguh-sungguh menjalani kehidupan kampus. Padahal, kampus bagi mahasiswa adalah dunia riil, sangat riil yang bisa menempati porsi utama pada masa perkembangan kognitif mereka saat itu.
 
Kampus adalah miniatur kehidupan yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengasah ketrampilan akademik, interaksi sosial bahkan entrepreneurship. Soft skill utama seorang lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan menganalisa, menyusun logika, komunikasi aktif, kerjasama, bahkan kepemimpinan. ‘Berdialog’ dengan para ilmuan dari penjuru dunia melalui teori-teori mereka adalah salah satu media mengasah mind. Membaca textbook, membahas isu praktis dengan analisa teoretik adalah hal riil untuk membentuk ketrampilan analisa logika.
 
Apresiasi terhadap nilai tinggi adalah apresiasi pada usaha selama kehidupan riil di tahap tersebut, yakni belajar. Dalam proses seleksi seperti metode assessment center, pewawancara akan melakukan pendalaman konfirmatif – klarifikatif terhadap nilai-nilai tersebut. Bagian ini yang sering luput dari pelamar kerja fresh-graduate sehingga tidak sedikit yang terkaget apalagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh menjalani pendidikan. Sebagian besar masyarakat (mahasiswa yang lulus beserta keluarganya) dengan cepat menyimpulkan untuk ucap ‘perpisahan’ tegas dengan dunia pendidikan. Layaknya memutus jembatan di belakang dan menatap kehidupan baru yang sama sekali tidak ada hubungannya.
 
Mindset Pendidik & Kampus
Ada excuse lain yang saya tangkap baik kampus secara institusi maupun para pendidik. Beberapa pemakluman yang sepertinya tampak ‘baik’ untuk mahasiswa yang secara implisit terkandung dalam pandangan; “Mahasiswa semester awal, yah.. masih seperti SMA lah, maunya disuapi, masih susah untuk membaca, terlebih textbook.” Atau, “Ini kan bukan mahasiswa psikologi (untuk mahasiswa non-psikologi), jadi tidak wajib memiliki textbook lah..”  Saya yakin, hal ini juga ditemui oleh dosen lain ketika mengajar di kelas non disiplin utamanya.
 
Pandangan ini sebenarnya konsisten dengan keluhan rendahnya kemampuan membaca di Indonesia. Sebagian pendidik pun memperlakukan sumber ilmu secara praktis, hanya karena bukan disiplin utamanya, maka tidak perlu membaca handbook-nya. Pada sisi lain, mahasiswa menjadi melihat ‘kurang signifikannya’ sumber bacaan dalam mata kuliah tersebut. Makna lainnya, adalah dosen masih diminta untuk menjadi audiobook. Pada saat yang sama, pembelajaran mandiri sedang digalakkan di mana posisi dosen lebih untuk pengantar dan berdiskusi. Seharusnya pendidik memberikan kepercayaan pada mahasiswa tingkat bawah untuk membedah isi buku dan berdiskusi lebih lanjut di kelas maupun luar kelas. Implementasi dari memberi kepercayaan di sini adalah ‘mendorong’ bahkan ‘memaksa’ mereka untuk mempelajari buku-buku utama, bukan sekedar copy-paste untuk tugas essay.
 
Ada hal lain yang masih perlu dikaji, namun memberikan satu pertanyaan di benak saya tentang hebohnya ujian nasional di negeri ini. Selain ketrampilan membaca di atas, ada strategi belajar lain yang nampaknya masih asing bagi mahasiswa yakni teamwork. Ketika diminta membentuk kelompok-kelompok kecil di kelas untuk menjawab sekian soal menggunakan textbook, sebagian besar nampak panik melihat banyaknya soal dan waktu yang tersedia. Tugas ini menjadi sangat menekan dan tidak realistis. Pada akhirnya mereka perlu diingatkan bahwa mereka adalah tim yang terdiri dari beberapa orang. Pola kerjasama satu soal dikeroyok lima orang tentu akan memakan waktu satu hari untuk menyelesaikan lima soal, bukan 25 menit. Kecuali mereka semua telah membaca materi kuliah sebelum masuk kelas.
 
Pola kerjasama tim dengan pembagian tugas dan delegasi yang tampaknya ‘asing’ ini menjadi paradoks dengan budaya kolektif kita. Tidak heran jika siswa dan sekolah menjadi sangat tertekan dengan materi ujian nasional, jika strategi belajarnya masih konvensional. Saya tidak berani menggeneralisir semua sekolah di Indonesia, namun kecurigaan ini yang perlu dikaji kembali. Pertanyaan yang lebih dalam, apa pemahaman kerja tim di kalangan siswa – mahasiswa kita? Apakah satu pemimpin dan sisanya pengikut pasif? Apakah ini yang membuat mahasiswa enggan menjadi pemimpin atau koordinator kelas karena ia lah yang harus bekerja keras, sementara yang lain tinggal terima beres?
 
Pendelegasian materi untuk kemudian masing-masing memberikan presentasi menjadi salah satu alternatif belajar yang efektif. Salah satu kompetensi dasar dalam seleksi kerja pada freshgraduate adalah problem solving  dan planning organizing. Bagaimana individu mampu mengidentifikasi masalah, membuat prioritas dan mengoptimalkan sumber daya yang ada (rekan kerja – materi kerja). Ini seharusnya menjadi kompetensi dasar yang dimiliki mereka yang menyandang title sarjana.
 
Ketrampilan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menulis dan presentasi. Hampir semua pekerjaan menuntut adanya laporan tertulis, komunikasi tertulis baik yang terkonsep atau langsung seperti membalas e-mail rekanan/ klien dalam kerjasama proyek yang intensif. Hanya penguasaan materi lah yang membuat seorang mahasiswa bisa lebih mengembangkan ketrampilan presentasinya di kelas. Materi kuliah adalah realitas, se-realitas- proposal kerjasama sebuah perusahaan kelak di dunia kerja.
 
Berbagai mozaik ini seluruhnya berseru “Kampus adalah realitas, bukan mimpi atau hotel singgah.”

Tradisi Ngerumpi

Pasti tidak semua orang memang, tetapi bisa dipastikan ada sebagian dari kita yang menikmati tradisi ngerumpi di tempat kerja.  Secara umum, materi ngerumpi itu bisa dikategorikan menjadi tiga. Pertama, menjadikan orang sebagai bahasan utama kita. Kedua, menjadikan peristiwa sebagai bahasan utama kita. Ketiga, menjadikan gagasan, ide, rencana dan semacamnya sebagai bahasan utama kita.
 
Pasti juga tidak semua ngerumpi itu jelek, tetapi dipastikan ada bagian dari tradisi ngerumpi itu yang menjadikan kejelekan orang lain (atasan, bawahan, sesama) sebagai materi pembahasan utama. Membahas kejelekan orang lain ini juga bukan sebuah bahasan yang mudah berakhir dengan titik, melainkan menjadi bahasan yang ber-ujung koma. Artinya, setelah pendapat itu dikeluarkan, pasti akan ada pendapat lanjutan yang mendukung atau menentang pendapat terakhir itu.
 
Perlukah kita membahas praktek ngerumpi di tempat kerja yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari? Apakah dampaknya ngerumpi bagi diri kita dan orang lain? Ukuran apakah yang bisa kita jadikan standar untuk membatasi diri kita? Dan apa saja yang masih mungkin kita lakukan untuk mengurangi praktek ngerumpi yang sudah didasari oleh cara penglihatan yang sempit, ibaratnya menggunakan mata kuda ?

Critical Spirit


Istilah critical spirit di sini saya pinjam dari  bukunya John C. Maxwell berjudul The 17 Indisputable Laws of Teamwork (Thomas Nelson, Inc: 2001). Meminjam penggunaan dari istilah ini, critical spirit yang dimaksudkan adalah pembicaraan kita tentang orang lain yang hanya didasarkan oleh semangat untuk mengkritik semata. Kritik di sini bukanlah kritik politis yang masih bisa dipilah antara kritik konstruktif dan destruktif tetapi kritik dalam pengertian individu (individual critic) yang sudah menjadi kebiasaan diri kita. Dalam konteks antar individu, John C. Maxwell menempatkan critical spirit sebagai salah satu ancaman bagi kebersamaan sebuah tim usaha.
 
Salah satu yang menjadi penyebab adalah apa yang oleh pepatah kuno disebut "Lensa Penglihatan Mata Kuda". Setiap orang memiliki dua lensa yang digunakan untuk melihat orang lain. Lensa pertama adalah lensa positif, seperti yang biasa digunakan oleh orang yang sedang mesra-mesranya berpacaran. Lensa kedua, adalah lensa negatif seperti yang digunakan oleh orang yang sudah dikuasai oleh semangat mengkritik. "Lensa positif menutupi segala kesalahan, sementara lensa negatif membongkar seluruh kesalahan".
 
Meskipun semua orang sudah diberi dua lensa tetapi keduanya tidak bekerja berbarengan dalam satu waktu. Ketika lensa positif yang kita gunakan maka lensa negatif tidak aktif dan begitu juga sebaliknya ketika lensa negatif yang kita gunakan. Berdasarakan kecenderungan umum, penggunaan lensa itu lebih dikendalikan oleh kebiasaan (habits) antara "Lupa" dan "Ingat" kecuali bagi sedikit orang yang sudah belajar menggunakannya secara bergantian sesuai kepentingan (kritik membangun).
 
Istilah "Lupa" dan "Ingat" ini seperti yang pernah digambarkan oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya sama seperti kita mengenang jasa pahlawan. Ketika kita sedang mengangkat setinggi-tinggi kehebatan seorang tokoh, maka saat itulah sistem saraf kita sedang lupa kekurangannya.  Sebaliknya ketika kita sedang menghujat kelemahannya, maka saat itu pula kita sedang lupa kehebatannya. Faktanya, kita sebagai manusia, juga akan secara bergantian dinilai baik buruknya, kurang lebihnya, oleh orang lain dengan menggunakan sistem penilaian lupa dan ingat.
 
Berarti, penilaian yang sudah melebihi batas proporsinya tidak saja membahayakan bagi orang lain atau lingkungan tetapi justru membahayakan bagi kita. Bahaya yang mungkin paling dekat adalah seperti yang diingatkan oleh Albert Einstein. Setiap orang punya kebebasan memilih salah satu dari dua cara hidup. Cara pertama adalah melihat dunia dengan kesimpulan sebagai mu̢۪jizat, penuh keajaiban, penuh kebaikan, penuh peluang, dan seterusnya (everything̢۪s miracle). Cara kedua adalah melihat dunia dengan kesimpulan sebagai hampa keajaiban (nothing̢۪s miracle), tak ada yang menarik, tak ada yang baik dan tak ada peluang.

Proses Belajar


Langkah Pertama: Timbangan
 
Dalam praktek hidup mungkin akan terlalu sulit menemukan orang yang tidak pernah membicarkan kejelekan orang lain. Di samping adanya faktor "Lupa" dan "Ingat" yang kita miliki, pun juga tak ada batasan yang jelas antara critical spirit dan kritik membangun  (constructive critic), kecuali kitalah yang membikin batasan sendiri.
 
Salah satu jurus yang bisa kita jadikan standar untuk mengukur porsi yang wajar dan porsi yang kebablasan adalah membuat timbangan yang kita awasi sendiri. Angka timbangan ini bisa kita ambilkan dari temuan Paretto 80: 20 atau 20: 80 dan lain-lain.  Bila 80 % dari kebiaasan kita sudah menggunakan lensa negatif, maka yang perlu kita waspadai adalah, jangan-jangan kejelekan orang lain itu selalu nampak di mata kita karena lensa yang kita gunakan mayoritasnya sudah menjadi negative, baik yang kita gunakan untuk melihat ke dalam atau keluar. 
 
Sebaliknya kalau kesadaran kita menyimpulkan bahwa hanya 20 % dari kebiasaan kita yang menggunakan lensa negatif, kira-kira secara manusiawi bolehlah kita mengatakan masih wajar, ada alasan yang mendukung, kritik yang memang dibutuhkan, kritik yang mungkin bisa membangun atau kritik yang bisa kita gunakan sebagai cermin bagi diri kita tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik, tentang apa yang salah dan apa yang tidak salah. Semua orang sudah tahu bahwa orang lain itu terkadang sama seperti kita: ada bagian yang kurang dan ada bagian yang pas. Semua orang juga sudah tahu bahwa keadaan itu terkadang bisa berubah meleset secara brutal tetapi terkadang juga berubah secara lunak
 
Langkah Kedua: Rumus 3M
 
Langkah ini pernah ditulis oleh Jim Rohn (Evaluating Your Associations Part 1 & II, Jim Rohn International: 2004) dan bisa kita gunakan untuk menyiasati ajakan ngerumpi dari lingkungan kerja yang menurut kita sudah sampai pada porsi kebablasan dan tidak menutup kemungkinan akan membuat kita ketularan energi negatif.
 
Rumus pertama,  adalah memutuskan (M1). Bukan memutuskan hubungan dengan orang per orangnya secara fisik karena faktor kebencian, karena factor ini pun berpotensi melahirkan critical spirit. Kita bisa melakukannya dengan cara asertif dan lebih damai, misalnya saja kita bisa memutuskan untuk berniat menjadi orang yang lebih baik tanpa harus membandingkan dan mengkaitkan "kebaikan" kita dengan keburukan / kejelekan orang lain. Cara lain untuk memutuskan adalah tidak menyambung api pembicaraan negatif dengan memberi  bahan bakar supaya lebih besar dan menyala-nyala. Masih banyak lagi cara-cara yang bisa kita tempuh untuk memutuskan saluran energi negatif lingkungan tanpa harus membuat hubungan kita putus dengan orang-orangnya.
 
Rumus kedua, adalah membatasi (M2). Membatasi inipun bentuk dan jenisnya tidak hanya satu tetapi cukup variatif, tergantung pilihan yang menurut kita cocok. Kita bisa membatasi diri kita dengan materi atau frekuensi atau jenis kelompok orang tertentu. Dan lagi, kalau kita masih belum mampu membuat batasan fisik, batasan yang bisa kita gunakan adalah batas mental semacam "sistem seleksi dan pengecualian", tidak semua kita terima pun juga tidak semua kita tolak: ngerumpi selektif.
 
Rumus ketiga, adalah memperluas (M3). Memperluas inipun bisa bermacam bentuk dan jenisnya. Kita bisa memperluas dengan cara menambah inisiatif aktivitas yang bisa kita lakukan dan bisa pula menambah dengan cara memperluas jaringan hubungan untuk mendapatkan pilihan yang lebih banyak. Menambah inisitif untuk melakukan sesuatu yang   bisa mengurangi kerentananan terhadap "gampang terkena godaan" ajakan ngerumpi yang menurut kita sudah tidak sehat lagi tidak sehat.
Formula di atas tak akan lebih manjur melebihi kesadaran dan kontrol kita untuk membedakan mana ngerumpi yang dibutuhkan dan ngerumpi yang tidak dibutuhkan. Kesadaran pulalah yang akan lebih kuat untuk membedakan apakah kejelekan orang lain yang nampak di mata kita itu karena orang lain memang sedang jelek atau lensa yang kita gunakan sedang jelek. Semoga berguna.

Perselingkuhan Bagi Wanita yang Belum Menikah

Realistis atau pun tidak, mau diterima atau pun disanggah, kenyataan bahwa affair yang dilakukan seorang wanita dengan pria yang sudah berkeluarga, sebenarnya menjadi masalah yang sangat serius dan akan menyita tidak hanya waktu dan energi, tetapi juga seluruh kehidupan dan vitalitasnya; dan kondisi ini sering menyebabkan seorang wanita kehilangan harga diri.
 
Setiap affair yang dibuat pasti dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan itu sebenarnya sudah menjadi beban bagi pihak wanitanya. Alasannya mudah saja :
  1. Semua kegiatan harus dilakukan dan dijaga ketat kerahasiaannya, seperti kapan bertemu dan dimana tempatnya; mereka juga harus menjaga agar tidak  terlihat bersama-sama di depan umum agar mengundang kecurigaan apalagi di Indonesia yang kultur adat istiadat dan keagamaannya masih kuat.
  2. Seorang wanita yang menjadi WIL (wanita intim lain) bagi seorang pria yang sudah berkeluarga, harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus mampu dan mau menjadi prioritas kedua setelah keluarga sang pria. Dengan demikian, ia harus mengikuti segala jadwal, kegiatan dan rencana dari pihak pria. Akibatnya, pihak wanita tersebut harus rela kehilangan kebebasan dalam mengatur waktunya sendiri karena harus menyesuaikan dengan waktu sang pria. Sang wanita harus menerima kenyataan, bahwa dirinya harus menduduki urutan ke sekian dalam kehidupan sang pria setelah anak-anaknya, istrinya dan pekerjaannya. Padahal, pekerjaan menunggu itu saja sudah menyita tidak hanya waktu namun juga energi sehingga dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas-aktivitas yang positif atau pun terarah untuk sesuatu yang lebih baik bagi kehidupannya sendiri.
  3. Sekali seorang wanita mau menjadi WIL pria yang sudah berkeluarga, secara tidak disadarinya ia sudah mengorbankan pengendaliannya terhadap kehidupannya. Secara tidak disadari ia mengorbankan kebebasan diri sendiri sehingga akhirnya tidak mampu lagi mempertahankan citra bahwa dirinya dahulu wanita yang sangat penuh kendali. Kondisi ini lama kelamaan menurunkan harga dirinya. Apalagi jika sang pria tidak menepati janji misalnya untuk menceraikan istri sahnya, maka ia akan lebih merasa sakit hati dan kecewa; kecuali jika sejak awal ia sudah membatasi keterlibatan emosional secara mendalam terhadap sang pria sebagai antisipasi terhadap kekecewaan (namun seringkali bagi pihak wanita hal tersebut tidak mungkin terjadi, karena justru wanita lah yang sering melibatkan faktor emosional pada si pria).
  4. Banyak kenyataan menunjukkan, wanita yang terlibat affair dengan pria yang sudah berkeluarga, pada akhirnya mengalami kepahitan, kekecewaan, sakit hati, perasaan dikhianati karena dirinya sudah sangat tergantung baik secara emosional maupun secara materi dengan si pria yang sudah berkeluarga tersebut. Di lain pihak, mungkin ia sendiri juga merasa bersalah dan cemas jika ternyata berhasil memaksa si pria untuk meninggalkan keluarganya. Akhirnya, setiap saat si wanita merasakan pergumulan batin terus-menerus dan konflik yang menguras energi sehingga lama kelamaan energi negatif tersebut dapat menghancurkan kehidupan, karir, dan dirinya sendiri.
Jadi, jika ada di antara Anda yang mempunyai teman yang berselingkuh atau mungkin Anda sendiri yang sudah melangkah pada kehidupan semacam itu, coba lah untuk lebih realistis dan obyektif dalam memandang persoalan yang sedang dihadapi agar pada akhirnya apa yang dilakukan tidak merusak kehidupan kita sendiri dan kehidupan orang lain. Sebab, bagaimana pun juga bagi kaum wanita, akan lebih sulit untuk tidak melibatkan emosi secara mendalam terhadap sang pria karena memang wanita lebih sensitif dan emosional dibandingkan pria yang sering dikatakan rasional. Sebaliknya, akan lebih mudah bagi pria untuk memutuskan hubungan perselingkuhan jika pada saatnya nanti berhadapan dengan pilihan sulit atau pun sadar dengan sendirinya, karena pria seringkali tidak sampai melibatkan emosinya yang paling dalam. Namun jika ternyata dalam hubungan perselingkuhan tersebut keduanya sudah terlalu jauh baik dalam hal emosional maupun seksual, maka kondisi tersebut sudah dapat dikatakan ancaman serius bagi rumah tangga pihak yang sudah berkeluarga.

Perselingkuhan Dalam Kehidupan Keluarga

Setiap orang yang sudah berumah tangga tentu saja tidak ingin perkawinannya berantakan karena kehadiran pihak ketiga yang sama sekali tidak diharapkan. Namun kenyataannya belakangan ini semakin banyak kasus-kasus perceraian yang terjadi karena ternyata sang suami atau istri berselingkuh; bahkan ada yang pula yang suaminya menikah lagi dan punya anak selama bertahun-tahun tanpa diketahui oleh pihak istri pertamanya. Siapapun yang mengalami kejadian ini tentu akan merasa sangat terpukul, marah, sakit hati, benci pada suami / istri dan selingkuhannya, hilang total kepercayaan, tidak lagi bisa menghormati pasangan, hingga akhirnya tidak mampu lagi membangun cinta kasih dan persahabatan yang selama ini menjadi pengikat dalam kehidupan perkawinan mereka. Banyak yang mengatakan bahwa sulit sekali bagi mereka untuk kembali mencintai setelah dikhianati sekian lama sehingga meskipun perkawinan tersebut bisa diselamatkan, namun tetap saja hatinya sudah menjadi dingin dan hubungan mereka jadi hambar.
 
Memang, ada pula rumah tangga yang tampak tidak terusik ketika masalah perselingkuhan melanda kehidupan pasangan itu. Pada kasus demikian sebenarnya dalam hubungan antara suami dengan istri sudah sejak lama tidak ada lagi ikatan cinta kasih di antara mereka. Istilahnya, di antara mereka sudah terjadi emotional divorce sejak bertahun-tahun lampau sehingga tidak peduli lagi apa yang akan terjadi. Ikatan perkawinan yang ada di antara mereka pada dasarnya sudah tidak ada artinya apa-apa jauh sebelum masalah perselingkuhan itu terjadi.
 
Ada pula kasus-kasus di mana istri menemukan bahwa suaminya selingkuh dengan wanita lain, namun tetap berusaha mempertahankan keutuhan perkawinan tersebut karena demi kehidupan anak-anak mereka di kemudian hari, supaya mereka tetap mendapatkan jaminan hidup yang layak. Alasan kedua adalah karena diri sang istri sendiri yang merasa tidak mampu hidup sendiri, entah karena alasan ekonomi atau pun karena alasan psikologis.

Perselingkuhan Untuk Memenuhi Kebutuhan Seksual

Menurut Debbie Layton-Tholl, seorang psikolog, perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah pada dasarnya tidak semata-mata didasarkan pada kebutuhan untuk mencari kepuasan seksual.  Alasan yang terakhir di sebut itu malah mempunyai persentase terendah dibandingkan dengan alasan yang lain. Alasan paling besar dan kuat yang mendorong perilaku orang untuk selingkuh 90% karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional dalam hubungan antara suami istri. Kebutuhan seksual bukanlah menjadi alasan pertama dan utama, tapi justru muncul setelah terjadinya kehancuran emosional dalam kehidupan perkawinan seseorang karena orang tersebut mencoba mencari orang lain yang dapat memenuhi kebutuhan emosional. Jadi, perilaku seksual yang sering mewarnai affair atau pun perselingkuhan sebenarnya merupakan sarana untuk memelihara dan mempertahankan affair tersebut, dan bukan menjadi alasan utama.

Tak Selamanya Sabar Itu Baik

Dalam prakteknya, kita memang tidak bisa memperdebatkan apakah kesabaran itu penting atau tidak. Tidak bisa juga kita memilih untuk menjadi orang yang sabar atau tidak. Sejauh kita ingin memanifestasikan apa yang belum nyata di pikiran, kesabaran itu mutlak dibutuhkan. Pasalnya, semua manifestasi itu butuh proses dan perjuangan. Maksud perjuangan di sini adalah the activity that not only doing, aktivitas yang tidak semata melakukan sesuatu, melainkan usaha yang menuntut pengerahan daya upaya, yang di dalamnya pasti mencakup kesabaran. Kalau kita ingin membangun usaha, dalam skala apapun, pasti modal kita tidak cukup hanya beraktivitas yang biasa-biasa sekalipun kita sudah memiliki modal material dan finansial yang cukup. Membangun usaha butuh pengerahan daya upaya atau biasa kita sebut perjuangan.
Selain sebagai syarat mutlak perjuangan, kesabaran juga memberikan efek mental yang disebut kekuatan batin. Orang menjadi kuat bukan karena kesuksesan.  Kalau Anda tiba-tiba langsung sukses di bisnis, misalnya, belum tentu kesuksesan itu membuat Anda kuat mengelolanya. Kekuatan batin itu dibentuk dari kesabaran kita dalam menghadapi kenyataan pada saat kita memperjuangkan sesuatu. Ini yang membuat para pengusaha senior tidak begitu reaktif terhadap kegagalan atau kerugian. Jiwanya sudah terlatih untuk menjadi kuat. Struktur batin manusia itu sering digambarkan seperti batang pohon. Ia menjadi kuat bukan karena dijauhkan dari terpaan angin atau dari sinar matahari. Ia menjadi kuat karena dilatih oleh terpaan dan sinar. 
 

Prioritas Kesabaran 
Meski kesabaran itu dibutuhkan di semua aktivitas yang kita sebut perjuangan itu, tetapi kalau melihat prioritasnya, ada situasi dan kondisi tertentu yang menuntut kita untuk harus lebih bersabar. Bila melihat poin-poin penting dari catatan Pak Quraish Shihab, yang bisa kita baca dari buku-buku beliau, beberapa situasi dan kondisi itu antara lain:

1.     Pada saat kita menanti ketetapan Tuhan
Menurut ketetapan Tuhan, apapun yang kita usahakan itu PASTI akan ada balasannya. Cuma, balasan itu seringkali diakhirkan, di tanggal yang kita tidak ketahui seluruhnya, meski ada sebagian yang bisa diketahui. Menanti ketetapan yang belum diketahui ini butuh kesabaran.
 
2.     Pada saat kita menanti bukti yang diragukan orang-orang sekitar
Terkadang kita perlu terobosan yang kreatif dan umumnya terobosan itu menghadapi opini pihak lain yang kurang mendukung. Seperti diungkapkan Einstein, setiap ide yang hebat itu selalu mendapatkan sikap yang kurang mendukung dari orang yang biasa-biasa. Untuk membuktikan bahwa terobosan yang kita ambil itu kreatif (menghasilkan sesuatu yang lebih unggul), dibutuhkan kesabaran.
 
3.     Pada saat menghadapi ejekan / gangguan orang-orang yang menentang.
Tidak berarti kalau kita punya ide / rencana yang bagus, benar, dan bermanfaat itu lantas langsung mendapatkan dukungan dari manusia, seperti misalnya di kita harus ada berbagai komisi tentang hal-hal positif. Umumnya malah ditentang atau dikebiri dulu atau mendapatkan ujian. Rencana itu hanya akan bisa jalan apabila kesabarannya kuat.
 
4.     Saat menghadapi dorongan nafsu untuk membalas dendam
Upaya untuk memukul balik atas apa yang dilakukan orang terhadap kita, memang bisa saja muncul saat kita misalnya diperlakukan kurang baik oleh orang-orang tertentu. Namanya juga manusia. Kita sulit menjadi pemaaf atau orang yang berjiwa besar. Agar ini tidak terjadi, dibutuhkan kesabaran, alias menahan diri.
 
5.     Saat menghadapi keadaan buruk yang di luar rencana
Malapetaka, musibah, bencana, penyakit, atau hal-hal buruk lain yang tidak kita inginkan, memang bisa terjadi kapan saja, entah dari sebab yang logis atau yang beyond logis.  Untuk menghadapinya, dibutuhkan kesabaran.
 
6.     Saat memperjuangkan hasil yang sesuai kebutuhan atau keinginan
Hasil yang sempurna itu terjadi karena dua hal, yaitu good management dan good luck (tangan Tuhan). Terkadang kita mendapatkan yang lebih baik dari rencana tetapi terkadang tidak. Untuk menghadapi seni keadaan yang seperti ini tentu dibutuhkan kesabaran.
 
7.     Pada saat menjalankan pengabdian kepada Tuhan
Semua bentuk pengabdian kepada Tuhan, dari mulai yang kecil sampai ke yang besar, membutuhkan kesabaran. Sebab, di samping ada godaan, terkadang juga situasinya kurang mendukung. Sudah begitu, hasilnya tidak nyata, seperti makan cabe. Karenanya butuh kesabaran.
 
Tak Selamanya Kesabaran itu Baik
Meski sedemikian prinsipnya kesabaran itu bisa dijelaskan di sini, tapi dalam prakteknya tidak semua yang kita sebut sebagai kesabaran itu membuahkan kekuatan, keberhasilan, atau kemajuan. Atau dengan kata lain, tidak semua  kesabaran itu baik. Seperti apa kesabaran yang berpotensi tidak baik itu? Sebelumnya harus kita sepakati dulu bahwa yang kurang baik di sini tentu bukan konsep dari ajaran sabarnya, tetapi apa yang kita duga sebagai kesabaran itulah yang seringkali berproblem. Misalnya kita bertahan pada keadaan buruk, tanpa ada dorongan untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik dengan memperjuangkan sesuatu. Kita bisa saja menduga bertahan di sini sebagai wujud kesabaran. Padahal, lemahnya dorongan di situ dapat membuahkan keburukan dan ada banyak alasan untuk mengatakannya bukan sebagai kesabaran yang diajarkan.
 
Kenapa? Kalau melihat kesabaran yang diajarkan, kesabaran itu konteksnya pada berjuang atau pada saat memperjuangkan sesuatu. Sabar itu menunggu, bertahan, atau menghindari, tetapi semua itu kita lakukan pada saat melakukan effort that not only doing itu.  Begitu konteks-nya kita hilangkan, kesabaran kita berubah menjadi kepasrahan terhadap kenyataan buruk. Kepasrahan demikian disebutnya fatalisme yang ditolak oleh semua ajaran dan akal sehat karena keburukan yang akan ditimbulkan.Termasuk dalam pengertian sabar yang kurang baik adalah terlalu tahan terhadap derita; atau yang dalam kajian sains-nya biasa disebut stoisme, bekunya jiwa terhadap rasa derita atau bahagia. Ini membahayakan apabila sudah menumpulkan kreativitas dan daya juang. Kita sudah terlalu tahan terhadap derita sehingga kurang tergerak untuk mencari solusinya.
 
Kesabaran juga akan berpotensi buruk apabila telah mengurangi kewajiban kita untuk bertanggung jawab, baik personal atau sosial. Seorang suami kurang bisa dibenarkan menyuruh istrinya bersabar pada saat dirinya malas-malasan; atau misalnya lagi kita memilih untuk membiarkan ada anggota keluarga yang perilakunya berpotensi membahayakan dirinya dan orang banyak dengan menggunakan alasan kesabaran. Kesabaran demikian sangat berpotensi mendatangkan keburukan.
 
Kesabaran juga akan sangat berpotensi mendatangkan keburukan apabila dalam operasinya telah mengabaikan kewajiban kita untuk ber-empati pada orang lain. Kita menasehati orang lain supaya bersabar, dalam arti tidak melakukan apa-apa, sehingga mendatangkan keburukan.
 
Siklus Aktif Kesabaran
Agar kita terhindar dari praktek kesabaran yang berpotensi membuahkan keburukan, memang perlu ada antisipasi atau koreksi. Antisipasinya bisa kita buat berdasarkan penjelasan banyak ahli di bidang keimanan. Kalau melihat kajian di bidang keimanan, kesabaran itu ternyata bukan ajaran hidup yang berdiri sendiri dan untuk tujuan kesabaran. Kita tidak boleh bersabar hanya untuk bersabar, sebab akan rentan jatuh pada kepasrahan yang kalah, seperti yang sudah kita singgung di atas.
 
Jadi bagaimana? Kesabaran itu perlu digandengkan dengan keimanan dan kesyukuran dalam bentuk hubungan yang bersiklus dan bekerja secara aktif sesuai dengan kenyataan yang kita hadapi. Sederhananya bisa kita pahami seperti pada ilustrasi di bawah ini.

Jika dikontekskan dengan kehidupan sehari-hari, pemahaman yang bisa kita bangun itu adalah bahwa kita itu perlu memperjuangkan apa yang kita imani sebagai kebenaran atau kebaikan. Misalnya kita mengimani adanya solusi (pertolongan Tuhan) dari persoalan yang tengah kita hadapi. Tentu, namanya iman itu bukan sebatas mempercayai, melainkan  membuktikan kebenaran dari apa yang kita percayai melalui serangkaian tindakan. Untuk membuktikan itu, pastinya butuh kesabaran, dalam arti menunggu, bertahan, atau melewati proses, sampai berhasil. Setelah solusi itu terwujud, sikap yang secepatnya perlu dimunculkan adalah bersyukur. Syukur dalam arti menggunakan apa yang sudah ada untuk perbaikan, peningkatan, atau hal-hal lain yang membuat hidup kita makin baik, dengan cara-cara yang positif.
 
Mengabaikan kesyukuran saat hidup sedang OK, dapat membuahkan keburukan. Banyak orang yang justru mendapatkan kesengsaraan dari keberhasilannya, misalnya menyalahkan-gunakan kekuasaan, jabatan, atau melampaui batas, karena kurang bersyukur. Termasuk juga bila kita terlalu lama menikmati keberhasilan. Ditempatkan  menjadi manajer HRD, misalnya begitu, yang semula kita pahami sebagai nikmat, akan berubah menjadi sesuatu yang biasa-biasa atau mungkin menjadi beban, jika kita gagal mengembangkan diri sebagai wujud kesyukuran.  "Walaupun Anda sudah berada di track yang benar, tetapi akan salah bila Anda di situ terlalu lama", pesan Jhon C. Maxwell. 
 
Bisa juga kita menggunakannya untuk konteks yang agak berbeda. Ketika sedang terkena problem, kita menggunakan keimanan dan kesabaran. Tapi begitu hidup kita lagi OK, bergelimpangan resource, kita menggunakan keimanan dan kesyukuran. Memainkan otak untuk mengetahui kapan menggunakan kesabaran dan kesyukuran yang berakar pada realisasi keimanan inilah yang bisa kita pahami sebagai siklus aktif kesabaran. Kesabaran dengan begitu bukan tujuan, tetapi kendaraan jiwa untuk mencapai tujuan.
 
Menjaga Jarak Yang Sehat
Kunci lain lagi agar kita tidak terjebak mempraktekkan ajaran yang benar, namun dengan cara yang salah atau mengakibatkan kesalahan adalah dengan menjaga jarak yang sehat.  Saya kira ini tidak saja berlaku untuk kesabaran, tetapi juga untuk yang lain-lain, seperti ketekunan, kebaikan, ketakwaan, dan seterusnya. Menjaga jarak yang sehat di sini maksudnya jangan sampai kita kebablasan (over) sehingga kurang seimbang antara kewajiban untuk menerima kenyataan dan kewajiban untuk memperbaikinya. Misalnya kita tiba-tiba harus menghadapi kenyataan buruk. Saat itu, kewajiban kita adalah menerima kenyataan. Protes atau men-denial-nya malah dapat memperburuk jiwa.  Tapi, ketika sikap demikian itu mulai memunculkan tanda-tanda yang kurang baik, maka kita perlu menggantinya dengan kewajiban memperbaiki kenyataan dengan memunculkan inisiatif dan aksi.
 
Menjaga jarak juga saat diperlukan antara kapan kita menggunakan kecerdasan dan kapan kita menggunakan keimanan agar terjadi keseimbangan. Keduanya sangat penting sehingga mengabaikan salah satunya secara berlebihan dapat memunculkan masalah. Kalau kita terlalu mengabaikan iman dengan bersandar pada kecerdasan akal, lama-lama akan hampa karena kekeringan nilai-nilai abstrak.  Padahal, di bagian tertentu dari kenyataan yang kita hadapai, nilai-nilai abstrak itu penting. Tapi, kalau sedikit-sedikit lari pada keimanan, dengan mengesampingkan akal, bisa fatal juga akibatnya.